Gugatan 11 Kepala Daerah terhadap Pilkada Serentak 2024, Permintaan Judicial Review ke MK

- 31 Januari 2024, 13:18 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi RI
Gedung Mahkamah Konstitusi RI /YouTube/Mahkamah Konstitusi RI/

PRMN TANGERANGKOTA - Sebanyak 11 kepala daerah mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini dilakukan karena mereka menilai Pilkada Serentak 2024 mengandung permasalahan dan bertentangan dengan konstitusi.

Visi Law Office, kuasa hukum dari 11 kepala daerah tersebut mengungkapkan, gugatan tersebut berkaitan dengan Pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) UU Pilkada. Pasal-pasal ini terkait dengan desain Pilkada Serentak 2024 yang dianggap merugikan sejumlah besar kepala daerah, khususnya terkait pemangkasan masa jabatan secara signifikan.

"Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan mencapai setengah dari total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia (49,5% dari 546 kepala daerah)," demikian disampaikan dalam siaran pers yang diterima Rabu 31 Januari 2024.

Para pemohon, yang terdiri dari Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, dan Walikota Bukittinggi, menyatakan bahwa mereka mewakili kepentingan 270 kepala daerah yang terdampak. Mereka menyoroti setidaknya tujuh persoalan dalam desain Pilkada Serentak 2024.

UU Pilkada 2024 sebelumnya telah menghadapi uji materi di MK. Namun, para pemohon kali ini membawa argumentasi yang berbeda.

"Sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi, para pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya," ungkap Visi Law Office.

Visi Law Office menyampaikan tujuh argumentasi hukum pokok, meliputi:

  1. Tidak ada perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada Serentak tahun 2024.
  2. Penjadwalan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis.
  3. Tujuan keserentakan pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana.
  4. Penentuan jadwal merugikan 270 Kepala Daerah hasil Pilkada 2020.
  5. Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada meningkatkan potensi korupsi.
  6. Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada meningkatkan potensi gangguan keamanan dan ketertiban.
  7. Potensi penumpukan perkara sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dibagi menjadi dua gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada November 2024 untuk 276 daerah, dan gelombang kedua pada Desember 2025 untuk 270 daerah.

Usulan ini dianggap sebagai solusi terhadap problem teknis pelaksanaan Pilkada serentak 2024, mulai dari keamanan hingga masa jabatan kepala daerah.

Halaman:

Editor: Fandi Achmad


Tags

Artikel Pilihan

Terkini